MAKALAH BUDAYA DAN KESEHATAN MASYARAKAT BALI
BUDAYA DAN KESEHATAN
MASYARAKAT BALI
NAMA KELOMPOK :
1.
Ni Kadek Katarina Ayu Damayanti
(18C10035)
2.
I Gede Krisna Diva (18C10036)
3.
Ni Putu Kristiani (18C10037)
4.
Putu Ayu Laksmi Dewi (18C10038)
5.
Ni Wayan Linda Darmayanti (18C10039)
6.
Luh Sindi Kartika Dewi (18C10040)
7.
Malika Ayu Cahyani (18C10041)
8.
I Gusti Agung Mas Diah Novitasari
(18C10042)
9.
Ni Putu Meilisa Erlina Kusuma Dewi
(18C10043)
10.
Ni Kadek Mila Damayanti (18C10044)
11.
Ni Putu Mutiara Shandra Ningsih
(18C10045)
12.
Ni KadekNefi Widiastuti (18C10046)
13.
Ni Wayan Nonik Yudiani (18C10047)
14.
Nur Fadila Haryanti (18C10048)
15.
Ni Wayan Oktiani (18C10049)
16.
Ni Made Putri Dewi (18C10050)
17.
Luh Putu Rena dewi Agustini (10C10051)
Latar
belakang
Pengobatan tradisional
merupakan bentuk interfensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan
kuno, termasuk di dalamnya konsep keperawatan kuno. Pada abad ke-19 para
praktisi pengobatan tradisional ini memiliki pengetahuan terbatas mengenai penyakit
infeksi dan pemehaman ilmu kedokteran barat seperti biokimia. Di Indonesia
banyak dijumpai pengobatan tradisional yang masih digunakan dan dipercayai oleh
masyarakat.
Menurut j.p kleiweg de
zwaan bahwa mengumpulkan bahan keterangan tentang ilmu dukun itu mempunyai 2
macam kegunaan.
1)
Dengan mengupas arti dari perbuatan ilmu
dukun itu, dunia ilmiah akan mendapat banyak keterangan tentang alam pikiran
bangsa lokal
2)
Pangan mengumpulkan bahan tentang ilmu
dukun, ilmu kedokteran modern mungkin bisa mendapatkan pengetahuan tentang
obat-obatan asli yang mungkin banyak berguna.
Sehingga dukun tidak
hanya dikenal dikalangan daerah tertentu saja melainkan diseluruh Indonesia memiliki
kekayaan tentang ilmu pedukunan yang dimiliki di Indonesia. Jika dibali dukun
disebut juga balian kata balian berasal dari kata wali (b=w) yang artinya
kembali. Dari kata wali lalu menjadi walian atau balian yang artinya orang yang
dapat mengembalikan keadaan tubuh seseorang seperti dalam keadaan sebelum
sakit. Balian atau sering disebut jero dasaran merupakan suatu phenomena
beragaman alam masyarakat animistik dan dinamistik yang masih mewarnai umat
hindu bali. Ketika perandadaya nalar manusia sudah mulai tak bisa memenuhi
keinginan, ketajaman akal sudah mulai timbul dalam memecahkan masalah ketika
rasio sudah tidak bisa memuaskan keinginan jasmani dan rohani maka
kecenderungan untuk mendapatkannya hanya ada di dunia magic.
Itulah nunasang, matuunan,
termasuk dalam menjalankan upacara keagamaan, khususnya aspek ritual. Manusia
yang terimbas bau modern kini justru cenderung mengagumi dunia klenik, takut
salahang betara, pemastu, yakni tradisi turun-temurun yang tentunya sangat jauh
dari dunia nalar manusia.
Rumusan
masalah
1)
Bagaimana sistem perdukunan yang ada
dari zaman purba hingga zaman sekarang
2)
Bagaimana sejarah pengobatan agama hindu
3)
Apa perbedaan dari balian usada dan
balian ketakson
Tujuan
1)
Untuk mengetahui sistem perdukunan yang
ada dari zaman purba hingga di zaman sekarang
2)
Untuk mengetahui sejarah pengobatan
agama hindu
3)
Untuk mengetahui perbedaan dari balian
usada dan balian ketakson
Manfaat
Manfaat pembuatan
makalah ini untuk mengetahui tentang sistem perdukunan yang ada dari zaman
purba hingga di zaman sekarang, untuk mengetahui sejarah pengobatan agama
hindu, untuk mengetahui perbedaan balian usada dan balian ketakson.
Pembahasan
1.Perkembangan sistem
perdukungan
A. Zaman purba
Dalam zaman purba, ada
beberapa jenis kepercayaan kuno, antara lain yaitu
·
Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan
alam. Manusia memandang alam sekelilingnya dan merasakan diri kecil dan rendah.
Manusia mencari perlindungan kepada kekuatan-kekuatan alam dan meminta
pertolongan di dalam kehidupannya. Kekuatan alam disekeliling manusia
dibayangkan sebagai manusia juga, tetapi dengan kekuasaan dan kekuatan yang
jauh lebih besar.
·
Kepercayaan terhadap kekuatan sakti/gaib
(dinamisme). Manusia melihat sekelilingnya banyak keajaiban dan keanehan.
Hal-hal yang luar biasa itu disebabkan menurut anggapannya oleh sesuatu
kekuatansakti/gaib. Pada manusia terdapat tempat-tempat timbunan sakti seperti
kepala, rambut, air ludah, kuku, darah dan tembuni. Pada benda-benda pun
dianggap ada tempat timbunan sakti seperti benda-benda pusaka, jimat dan
lain-lain. Kepercayaan seperti itu disebut fetisme.
·
Kepercayaan terhadap adanya jiwa
(animisme). Alam pikiran sederhana menganggap bahwa semua yang bergerak adalah
berjiwa. Matahari bergerak adalah berjiwa, air bergerak adalah berjiwa dan
lain-lain. Kepercayaan seperti ini disebut animism.
·
Kepercayaan terhadaproh-roh. Alam
pikiran sederhana percaya, bahwa alam sekitar itu penuh dengan roh baik dan roh
jahat. Suatu hutan rimba yang gelap penuh kegaiban, dianggapnya penuh dengan
berbagai roh. Roh-roh itu dianggap mendiami batu tumbuh-tumbuhan, pohon besar,
simpangan jalan dan terutama mendiami kuburan. Ada juga anggapan roh-roh itu
tinggal di dalam tubuh binatang tertentu misalnya harimau, pada buaya, pada
cecak. Roh-roh juga dianggap tinggal dilingkungan rumah tangga. Roh digambarkan
dalam dua sifat yaitu ada yang baik dan ada yang jahat.
·
Kepercayaan terhadap orang kemasukan roh
(symanisme). Kepercayaan yang umum pada pikiran sederhana adalah orang bisa
mengundang roh dan juga roh sesorang bisa pergi ke dunia roh. Kepercayaan yang
demikian disebut (symanisme).
Dahulu kala manusia sederhana tinggal di gua-gua alam
oleh karena mereka belum mengenal pembuatan rumah. Mereka mencari perlindungan
kepada alam. Mereka hidup dari hasil perburuan dan makan buah-buahan serta
ikan-ikan dari kali. Mereka memerlukan air maka itu gua-gua tempat tinggalnya
sering dijumpai pada tebing-tebing dipinggir kali. Mereka telah mengenal api
untuk melindungi dirinya dari udara dingin. Mereka juga mengenal sistem
pengobatan dengan menggunakan daun-daunan. Bila mereka luka misalnya karena
perkelahian dengan binatang-binatang buas, maka lukanya di temple, dijampi
terlebih dahulu.
Dapat dibayangkan pula bahwa sistem pengobatan dengan
mempergunakan air ludah, telah terdapat pada masa kuna Karena ludah merupakan
tempat timbunan sakti. Pengobatan dengan sistem pawing pun rupa-rupanya sudah
ada sejak itu. Sistem pengobatan dengan menggunakan cara-cara meminta
pertolongan kepada roh-roh terutama meminta kepada roh nenek moyang, sudah
dikenal pulanpada masa itu, karena menurut pengetahuan kepurbakalaan sistem
pemujaan roh nenek moyang telah dikenal sejak jaman prasejarah.
B. Jaman pengaruh hindu hingga sekarang
Menurut
penelitian sejarah, hubungan bali dengan jawa menjadi erat sejak abad 10
ditandai oleh perkawinan raja Dharma udayana dengan puteri raja jawa timur yang
bernama mahendradhatta. Raja suami-istri ini memerintah bali tahun 929-943M.
sejak pemerintahannya memakai Bahasa jawa kuna sebagai mana terbaca di dalam
prasasti-prasastinya, sedangkan sebelumnya dipakai Bahasa bali kuna. Kaarya-karya
sastra jawa kuno, telah memberikan petunjuk bahwa pada abad ke-10 telah ada
sistem pengobatan usada yang dilakukan oleh balian usada. Tentang adanya
mistik, telah diberikan keterangan di dalam kitab calonarang. Dengan
pengembangan ini maka munculah berbagai jenis usada di bali yang jumlahnya
sangat banyak antara lain usada kurantabolong, usada cukildaki, usada banyu,
usada tarupramana, usada babahi, usada tenung. Sistem pengobatan usada di bali,
berkaitan pula dengan sistem keagamaan yaitu beberapa aspek agama hindu.
Didalam melakukan pengobatan, seringpula disertai suatu upacara dewa yadnya
dalam bentuk nunas ica kepada hyang widi. Segi upacara pitra yadnya terlihat
pula di dalam suatu pengobatan usada dimana dikatakan si sakit kadang-kadang
disakiti oleh roh leluhurnya karena suatu sebab, sehingga memerlukan suatu
upacara yang berhubungan dengan leluhurnya untuk memohon ampun dan restu. Aspek
keagamaan yang sering berhubungan dengan sistem pengobatan usada adalah mecaru
sebagai suatu usaha untuk memulihkan kembali kesehatan si sakit. Caru yang
sering dipakai adalah caru yang bersifat khusus misalnya caru nasi wong-wongan,
caru nasirangda, caru nasi sasahan. Melihat kenyataan tersebut ini, maka sistem
pengobatan usada dibali mencangkup dua jalur yaitu, mengobati dengan memberi
obat menurut usada dan melakukan upacara keagamaan tertentu untuk memulihkan
kesehatan si sakit secara spiritual.
C. Sejarah pengobatan di dalam agama
hindu
Kata balian menurut I
Gst. Agung gede putra dapat diberikan pengertian bahwa balian berasal dari kata
wali berarti mengembalikan, wali atau wangsa artinya kembali. Wali juga berarti
banten. Sebagaimana diketahui banten itu sebenarnya adalah simbol atau gambaran
sebagai pengganti yang sebenarnya misalnya banten guru piduka adalah simbol
permintaan maaf, dengan membuat guru piduka sudah berarti menbuat gambaran
meminta maaf. Canang sari simbol lingga dengan membuat canang sari berarti
sudah membuat lingga padahal bukan lingga sungguhan melainkan hanya gambaran
lingga. Jadi banten adalah gambaran simbol, gambaran simbol itu sama dengan
wakil dari benda sebenarnya, dan wakil dari benda sebenarnya sama dengan wali
dan akhirnya wali sama dengan banten. Contohnya dapat kita lihat pada pujawali
artinya ada upacara pemujaaan dan upacara persembahan banten. Baligya(waligya)
yang kemudian jadi ngeligya adalah upacara nyekah dengan banten lebih besar.
Dyuskabaligi (dyus artinya mandi atau penyucian) dan bligi artinya banten, jadi
dyus kambaligi artinya banten penyucian. contoh yang sampai sekarang kita dapat
jumpai pada masyarakat bali kuno seperti di daerah kintamani, sukawana, dan
sekitarnya ialah adanya sebutan jabatan jero balian. Ambilah contoh di batur,
jro balian disana tidak bertugassebagai dukun tukang mengobati melainkan
bertugas sebagai tukang ngantebang (mempersembahkan) banten kalau ada orang
naur sesangi (bayar kaul), banten penebusan pecaruan dan sebagainya. Jadi
tugannya adalah ngantebang banten. Suku kaharingan di Kalimantan, orang yang
bertugas mengawinkan juga disebut balian. disamping itu kita mengenal juga
jabatan balian konteng yaitu semacam pemangku yang bertugas menyelesaikan atau
meresmikan upacara perkawinan. Di desa-desa kalau banten widhi widananya kecil
jarang yang meminta pedanda sebagai pemuputan dan dicukupkan dengan menggunakan
balian konteng saja. Jadi dalam hal ini tidak semua balian itu adalah dukun
tukang obat melainkan juga bisa berarti tukang muput banten.
Pengobatan di dalam agama hindu dapat dilihat di dalam
kitab catur weda, yakni di dalam atharwa weda. Dalam atharwa weda banyak
disebutkan mengenai obat-obat dan mantra-mantra pengobatan. Saying sekali
karena terjemahan atharwa weda ini tidak ada di Indonesia demikian pula
nama-nama daripada tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai bahan
obat tidak diketahui persamaannya di Indonesia, sehingga tidak diketahui jenis
tumbuh tumbuhan yang dimaksud maka pengaruh atharwa weda dalam pengobatan
tradisional di Indonesia dan di pulau bali khusunya tidak banyak.
D. Jenis jenis balian
Balian yang dikenal di bali
secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu
1.
Balian usada
Balian
usada adalah balian yang pada dasarnya mengutamakan penggunaan pengetahuan
mengenai teknik pengobatan dan jenis-jenis obat-obatan. Pengetahuannya didapat
dari mempelajari berjenis-jenis usada antara lain lontar usada, lontar
bodagama, bodakecapi dan sebagainya yang pada umumnya memuat soal-soal therapy
menentukan jenis penyakit pada soal-soal obat yaitu obat apa yang cocok untuk
suatu penyakit. Jadi usada itu garis besarnya memuat soal bagaimana menentukan
jenis penyakit dan menentukan obatnya. Untuk mendapatkan kemanjuran dari
pengobatan itu pengetahuan soal jenis penyakit dan jenis obat-obatan itu saja
belum dianggap cukup sebab pada umumnya balian usada mempelajari kandapat mulai
dari kandapat rare, bhuta, dewa dan sari atau sejenis kandapat lainnya seperti
anggastya prana, kuranta bolong, sundari, ding, purwa bhumi kemulan, welanda
kateng dan sebagainya. Untuk mempelajari dan ngerangsuk (dapat menghayati
betul-betul) kandapat ini diperlukan pengendalian diri berupa puasa dan pantangan
puasa tidak makan minum, tidak mengajak istri dalam waktu tertentu dan
sebagainya. Puasa dan pantangan ini bertujuan untuk penyucian diri sehingga
kekuatan ilmu kandapat itu betul-betul menyatu pada dirinya. Sebagaimana
diketahui kandapat itu dasarnya adalah pengenalan terhadap sifat, kekuasaan,
kesukaan serta penggunaan dari saudara yang empat yang diajak lahir
bersama-sama. Mereka itu adalah yeh nyom yang warnanya putih keluar paling dahulu
sebagai peretas jalan, sesudah itu darah dan lamas yang berwarna merah dan
kuning yang menjaga tiap sisi dari si bayi pada waktu lahir sehingga tidak
cacat walaupun melalui lobang yang sempit, dan terakhir adalah ari-ari warna
biru (hitam) yang bertugas mendorong si bayi dari belakang agar cepat bisa
keluar. Saudara yang empat inilah yang dari sejak lahir menjaga keselamatan si
bayi dan sesudah besar anak ini maka saudara yang empat itu pun berganti nama
anggapati, mrajapati, banaspati, dan banaspati raja dan didalam kandapat dewa
beliau adalah Bh. Iswara, Bh. Brahma, Bh. Mahadewa, dan Bh. Wisnu. Kandapat
yang berarti saudara yang empat akan bisa membantu dan melindungi bayi ini dari
kecil sampai sesudah mati karena saudara empat ini pula yang menjaga di jembatan
ogal-agil (titi ogal agil). Kalau seseorang baik terhadap saudaranya yang empat
maka saudara empat ini akan melindungi dan membantu orang ini di dalam segala
perbuatannya sehingga dia bisa menjadi manusa sakti manjur segala apa yang
dibuat atau dikatakannya, biasa membantu didalam segala pengobatan dan
melindungi di dalam segala bahaya. Sebaliknya jika manusia sakti ini
menyalahgunakan saudaranya yang empat itu maka mereka juga menjadi saksi dan
penghukum di neraka. Dengan mendalami kandapat ini dan akrab dengan saudara
yang empat ini maka si balian akan dapat meminta bantuan pada mereka. Sebab itu
merupakan etik dari balian usada yang ngerangsuk kandapat jangan sampai
menyalah gunakan saudaranya itu untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan
dharma dalam arti memeras oasien dengan meminta uang yang banyak-banyak atau
menggunakan kesaktiannya untuk kesenanagn dan keuntungan sendiri. Itulah
sebabnya balian usada pada umumnya tidak mau memasang tarif karena dia tidak
boleh serakah, kalau sudah mulai serakah dia tidak manjur lagi. Serakah dalam
Bahasa sansekertanya disebut ahamkara (mementingkan diri sendiri) di dalam
Bahasa Indonesia disebut angkara. Orang yang merangsuk kandapat oleh karena
tahu akan akibat kalau dia menyalahgunakan saudaranya maka segala perbuatannya
dikendalikan jangan sampai bertentangan dengan agama (dharma), dan berusaha
mengabdi pada masyarakat yang disebut di dalam istilah sansekertanya
anresangsya mukhayaningdharma yang artinya kebajikan yang tertinggi adalah
tidak mementingkan diri-sendiri.
2.
Balian ketakson
Yang
dimaksud dengan balian ketakson pada umumnya adalah balian yang minta bantuan
roh-roh halus, dewa, gamang, pitara, buta bebayi dang sebagainya dengan jalan
membiarkan dirinya dimasuki, atau dipengaruhi sehingga tampeknya seperti orang
intrance atau setengah intrance serta bisa menangkap firasat atau petunjuk dari
roh atau kekuatan gain dari luar itu. Dengan jalan mendapat penjelasan dari
kekuatan gaib dari luar inilah dia bisa mengetahui apa sakit si pasien serta
apa obatnya. Balian-balian ketakson umumnya lebih reaktif kelihatan bisa begitu
cepat mengetahui sakit seseorang sehingga cepat terkenal, tapi biasanya juga
cepat punah kemanjurannya. Balian kjetakson umumnya tidak banyak mau
mempelajari usada, tetapi sukanakti atau ndewairaya kepura-pura atau ke
tempat-tempat yang angker. Balian ketakson juga menggunakan beberatn-beberatan
(pantangan-pantangan) untuk menjaga kesucian dirinya. Oleh karena itu tubuhnya
itu tubuhnya sudah biasa dimasuki oleh roh-roh gaib kadang-kadang maca-macam
roh dan bhuta kala juga bisa masuk, dan andaikata demikian maka berhati-hatilah
kalau terjadi salah masuk.
E. Balian dalam pandangan teologi
hindu
Setiap
agama yang percaya dengan adanya tuhan yang maha esa tentunya memiliki teologi
yang berbeda-beda. Secara harfiah teologi berasal dari Bahasa yunani, yaitu
theos dan logos. Theos berarti tuhan dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi
teologi berarti ilmu pengetahuan tentang tuhan yang dalam agama hindu disebut
sebagai brahma widya. Walaupun ada ilmu tentang ketuhanan bukan berarti kita
tahu tentang segala-galanya tentang tuhan. Ilmu balian yang banyak dikuasai
oleh masyarakat bali terdapat dalam teologi hindu, hal ini dibuktikan dalam
pengobatan selalu menggunakan mantra-mantra yang menyebutkan nama-nama dewa da
menyebut aksara-aksara suci beliau untuk melaksanakan pengobatannya. Nama-nama
dewa dalam mantra balian dapat dilihat doa-doa yang diuncarkan oleh balian.
Konsep
teologi hindu merupakan sebuah konsep tentang ketuhanan yang meliputi banyak unsur,
salah satunya adalah aksara-aksara suci. Disebut aksara suci karena memang
aksara ini memiliki kekuatan gaib atau magis religious untuk menyucikan atau
membersihkan sesuatu. Aksara ini pada umumnya dipergunakan sewaktu ada upacara
agama atau dalam pengobatan. Oleh karena itu para balian ini harus mempelajari
dengan benar dan sungguh-sunguh tentang tulisan dan makna dari masing-masning
aksara tersebut dan tata cara penggunaannya. Jikalau salah dalam penulisannya
dan pemanfaatannya serta ritual yang mengiringinya akan menimbulkan akibat yang
tidak di inginkan baik oleh baliannya sendiri maupun pasiennya.
Contoh kasus :
Disebuah desa yang
bernama desa tukad sumaga kabupaten buleleng merupakan desa yang sangat
terpencil dan sangat jauh dari kota sehingga menyebabkan masyarakat disana
hanya berpedoman dengan apa yang ada di sekitarnya jarak antara rumah satu
dengan rumah lainnya sangat jauh. Disana juga sangat jauh jaraknya dengan
puskesmas apalagi rumah sakit. Pada suatu ketika masyarakat disana mengalami
suatu wabah penyakit. Banyak warga yang panas dingin, mual-mual bahkan ada juga
yang nyeri sendi karena akses dari desa menuju rumah sakit sangat jauh
menyebabkan masyarakat disana lebih dominan untuk melakukan pengobatan secara
tradisional saja. Dan dengan keluhan itu masyarakat pergi ke balian untuk
berobat. Setelah beberapa hari selang waktu, lurah (bendesa) disana mengundang
tim petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang kesehatan lingkungan
dan setelah dilakukan pengecekan oleh petugas kesehatan ternyata disana sangat
banyak jentik-jentik nyamuk yang menyebabkan terjadinyad deman berdarah. Dari
saat itu para tim kesehatan menghimbau masyarakat untuk memperhatikan
lingkungan sekitar agar terbebas dari penyakit.
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengobatan
tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasive, berakar
dari kepercayaan kuno, termasuk didalamnya konsep kepercayaan kuno. Pengobatan
tradisional ini sudah lama dikenal di dunia, bahkan di Indonesia pun sudah berkembang
sejak ratusan tahun yang lalu. Di bali istilah pengobatan tradisional tersebut
biasanya identic dengan balian yang merupakan orang yang dipercaya bisa
melakukan pengobatan. Balian di bali dipengaruhi oleh perkembangan agama hindu
hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam upacara yang digunakan dalam
melakukan pengobatan tersebut. Jenis balian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
balian usada dan balian ketakson. Balian usada adalah balian yang pada dasarnya
mengutamakan penggunaan pengetahuan mengenai teknik pengobatan dan jenis-jenis
obat-obatan dan balian ketakson pada umumnya adalah balian yang minta bantuan
roh-roh halus, dewa, gamang, pintara, bhuta bebai dan sebagainya dengan jalan
membiarkan dirinya di masuki, atau dipengaruhi sehingga tampaknya seperti orang
trance atau setengah trance serta bisa menangkap firasat petunjuk dari roh atau
kekuatan gaib dari luar itu. Balian dalam teologi hindu terdiri dari
mantra-mantra hindu karena didalamnya disebutkan tentang dewa-dewa dan mantra
yajna di samping itu balian juga menggunakan aksara dalam pengobatan yang
biasanya menggunakan aksara yang terdapat di diri manusia, kemudian disatukan
dengan aksara alam semesta, sehingga kebahagiaan dapat tercapai.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra,
I Nyoman. Beberapa faktor penghambat dan pendorong dalam Usaha peningkatan
peran balian di Masyarakat Seminar kedokteran Tradisional Bali pada tanggal 23
Januari 1981. Makalah
Callone,
J.B. de, 1988. Ilmu Dukun Pada Suku-Suku
Dayak di Kalimantan Selatan. Jakarta:Reikaraya.
Donder,
I Ketut. 2006. Brahvidya Teologi Kasih
Semesta. Surabaya: Paramitha.
Kardji,
I Wayan, 1999. Ilmu Hitam Dari Bali. Denpasar
: Upada Sastra
Kardji,
I Wayan, 2006. Tutur Penangkal Ilmu
Hitam. Surabaya: Paramitha
Koentjaraningrat,
Dr. (1954). Sejarah Kebudayaan Indonesia,
Dijilid I, Kebudayaan Prahistori di Indonesia : New Haven.
Nala,
Ngurah, 2006. Aksara Bali dalam Usada.
Surabaya : Paramitha.
Nala,
Ngurah, 1992. Usada Bali. Paramitha :
Surabaya.
Titib,
I Made, 2003. Teologi & Simbol-Simbol
Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramitha
Tnpa
Pengarang. 1978. Transkripsi Lontar Usada
Ratuning Usada. Dinas Kesehatan Prov.Bali.
Drs.
I Gst. Agung Gde Putra. Penggolongan Balian di Bali. Makalah. 1988
Comments
Post a Comment